Terkadang saya ga habis pikir, begitu cepatnya perasaan dapat berubah. Saya tau, manusia memang merupakan makhluk yang dinamis. Saya pun tau, saking dinamisnya pergerakan mereka mungkin dinamikanya dapat mengalahkan pergerakan makhluk hidup yang lain. Tapi yang masih menjadi ganjalan dalam diri saya sekaligus pertanyaan adalah kedinamisan manusia itu sendiri. Sebegitu dinamiskah manusia sehingga perubahan perasaannya pun kontras adanya.
Contohnya simpel aja deh. Orang yang tadinya saling mencintai bisa dengan mudahnya menjadi saling membenci. Sebuah insight yang dapat saya petik dari buku berjudul Divortiare karya Ika Natassa adalah kedinamisan perasaan manusia itu. Begitu mudahnya perasaan itu berubah hanya dengan adanya satu kejadian sebagai turning point/titik baliknya. Bicara mengenai titik balik, saya jadi ingat salah satu materi dalam mata kuliah Kepribadian, yaitu adanya peak experience yang menimpa seseorang dan menjadikannya titik tolak yang mengubah hidupnya. Hanya bedanya, dalam pengertian yang ini, turning point selalu memiliki nilai positif yaitu suatu titik yang mengubah hidup seseorang menjadi lebih baik dan memaksimalkan potensi positif dalam diri orang itu. Nah, turning point yang ini tampaknya berbeda karena kehidupan yang ada dalam novel ini. Tokoh utama memang berubah tapi not in a better meaning. Just like you don't have this person again in your life, but that's it. Karena kenyataannya si tokoh utama sebenarnya still have this person in his/her thought. In fact, kehidupan yang dialami si tokoh utama memang dapat berjalan back to normal again (kelihatannya) tapi kenyataannya kehidupan mereka malah jadi lebih sengsara.
Cinta ternyata tidak semudah itu dapat hilang dari hati manusia, hanya terkadang mulut kita lebih menang dibandingkan hati kita. Mulut kita terlalu kuat dan keras kepala untuk mengakui kebenaran perasaan kita. Yah, mungkin hati pun sebenarnya berperan juga. Hati yang telah tersakiti memang dapat dengan mudahnya menjadi lemah dan mengalah pada emosi dibanding memperjuangkan hati nurani.Tapi, itulah manusia...Makhluk yang tetap saja (sebenarnya) lemah di antara kekuatan yang dimilikinya, apalagi bila sudah menyangkut masalah perasaan. Mungkin pula benar adanya batas antara cinta dan benci itu sangat tipis. Well, this can be a lesson and reflection for us. Apakah kita pun begitu? Just us who knows about it.
Tapi, walopun begitu sayapun percaya pada kemampuan orang untuk menjadi lebih baik. I believe in other competency to be a better person and learning from their experience. Ya iyalah, keledai aja ga mau jatuh ke lubang yang sama dua kali, so do we. Kalopun ada yang sampai sekarang masih belum juga menyadari kompetensi dirinya untuk menjadi lebih baik, dalam hal memperlakukan orang lain, dalam hal mengemukakan pendapat, dalam hal bertutur kata, dalam hal managing relationship, dalam pekerjaannya sehingga bisa gagal sebelumnya, dan dalam berbagai hal yang lain...maka orang itu hanya belum terlalu melakukan refleksi terhadap apa yang selama ini telah dilakukannya. Ketika refleksi itu belum berjalan, maka kepekaan pun tidak akan muncul ke permukaan, dan kesadaran sebagai buah dari itu pun tidak akan dapat tercipta. Maka, (lagi-lagi) saya berdecak kagum pada jurusan yang selama ini saya tekuni dan saya pilih sebagai major saya untuk bekal hidup saya nanti. Bayangkan saja, refleksi memang cara yang sederhana, sangat personal, dan sudah dikenal orang banyak pada umumnya. Intinya, refleksi benar-benar merupakan konsep yang umum. Walopun begitu, dampak dari refleksi itu sendiri sangat luar biasa bagi pengembangan potensi kita menuju, like i said before : a better person, dan juga bisa kita aplikasikan di berbagai bidang. Yaah, observasi dan kepekaan yang baik memang menjadi tuntutan dalam major yang saya tekuni ini, and i think i should still learn a lot about it. Saya yang cenderung cuek dan moody-an memang masih perlu berusaha keras untuk ini. Wish me luck, fellas >.<
Seiring dengan kecintaan saya pada major ini, semoga bertambah pula kualitas positif yang ada dalam diri saya. Someday, i hope it can be true :)
xoxo with love,
Contohnya simpel aja deh. Orang yang tadinya saling mencintai bisa dengan mudahnya menjadi saling membenci. Sebuah insight yang dapat saya petik dari buku berjudul Divortiare karya Ika Natassa adalah kedinamisan perasaan manusia itu. Begitu mudahnya perasaan itu berubah hanya dengan adanya satu kejadian sebagai turning point/titik baliknya. Bicara mengenai titik balik, saya jadi ingat salah satu materi dalam mata kuliah Kepribadian, yaitu adanya peak experience yang menimpa seseorang dan menjadikannya titik tolak yang mengubah hidupnya. Hanya bedanya, dalam pengertian yang ini, turning point selalu memiliki nilai positif yaitu suatu titik yang mengubah hidup seseorang menjadi lebih baik dan memaksimalkan potensi positif dalam diri orang itu. Nah, turning point yang ini tampaknya berbeda karena kehidupan yang ada dalam novel ini. Tokoh utama memang berubah tapi not in a better meaning. Just like you don't have this person again in your life, but that's it. Karena kenyataannya si tokoh utama sebenarnya still have this person in his/her thought. In fact, kehidupan yang dialami si tokoh utama memang dapat berjalan back to normal again (kelihatannya) tapi kenyataannya kehidupan mereka malah jadi lebih sengsara.
Cinta ternyata tidak semudah itu dapat hilang dari hati manusia, hanya terkadang mulut kita lebih menang dibandingkan hati kita. Mulut kita terlalu kuat dan keras kepala untuk mengakui kebenaran perasaan kita. Yah, mungkin hati pun sebenarnya berperan juga. Hati yang telah tersakiti memang dapat dengan mudahnya menjadi lemah dan mengalah pada emosi dibanding memperjuangkan hati nurani.Tapi, itulah manusia...Makhluk yang tetap saja (sebenarnya) lemah di antara kekuatan yang dimilikinya, apalagi bila sudah menyangkut masalah perasaan. Mungkin pula benar adanya batas antara cinta dan benci itu sangat tipis. Well, this can be a lesson and reflection for us. Apakah kita pun begitu? Just us who knows about it.
Tapi, walopun begitu sayapun percaya pada kemampuan orang untuk menjadi lebih baik. I believe in other competency to be a better person and learning from their experience. Ya iyalah, keledai aja ga mau jatuh ke lubang yang sama dua kali, so do we. Kalopun ada yang sampai sekarang masih belum juga menyadari kompetensi dirinya untuk menjadi lebih baik, dalam hal memperlakukan orang lain, dalam hal mengemukakan pendapat, dalam hal bertutur kata, dalam hal managing relationship, dalam pekerjaannya sehingga bisa gagal sebelumnya, dan dalam berbagai hal yang lain...maka orang itu hanya belum terlalu melakukan refleksi terhadap apa yang selama ini telah dilakukannya. Ketika refleksi itu belum berjalan, maka kepekaan pun tidak akan muncul ke permukaan, dan kesadaran sebagai buah dari itu pun tidak akan dapat tercipta. Maka, (lagi-lagi) saya berdecak kagum pada jurusan yang selama ini saya tekuni dan saya pilih sebagai major saya untuk bekal hidup saya nanti. Bayangkan saja, refleksi memang cara yang sederhana, sangat personal, dan sudah dikenal orang banyak pada umumnya. Intinya, refleksi benar-benar merupakan konsep yang umum. Walopun begitu, dampak dari refleksi itu sendiri sangat luar biasa bagi pengembangan potensi kita menuju, like i said before : a better person, dan juga bisa kita aplikasikan di berbagai bidang. Yaah, observasi dan kepekaan yang baik memang menjadi tuntutan dalam major yang saya tekuni ini, and i think i should still learn a lot about it. Saya yang cenderung cuek dan moody-an memang masih perlu berusaha keras untuk ini. Wish me luck, fellas >.<
Seiring dengan kecintaan saya pada major ini, semoga bertambah pula kualitas positif yang ada dalam diri saya. Someday, i hope it can be true :)
xoxo with love,
0 komentar:
Posting Komentar